Di bulan Ramadhan yang lalu, JS-er Tigun Wibisana di Penang, Malaysia, berbagi di milis tentang pengalaman makan lemang di Kelantan. Tigun adalah adik saya, beda usia delapan tahun. Dia menceritakan betapa pulennya si lemang yang dimakan dengan kari sapi gurih. Kelantan di Malaysia memang sangat terkenal dengan lemang-nya, khususnya di bulan Ramadhan. Banyak penjual lemang di tepi-tepi jalan antarkota, sehingga kita dapat singgah untuk mencicipinya sambil melihat lemang-lemang yang sedang dibuat dan dibakar.
Lho, tetapi, lemang ‘kan ada di Ranah Minang juga? Tigun memang masih terlalu kecil ketika kami tinggal di Padang. Padahal, kakak-kakaknya ketika itu sudah punya tradisi membakar lemang di kepanduan pada perkemahan menjelang Ramadhan. Sambil berapi unggun, lemang kami bakar, dan sesudah matang kami makan dengan gembira. Di masa itu, sekolah libur sepanjang bulan Ramadhan. Jadi, api unggun itu juga semacam farewell karena kami akan jarang berjumpa dalam sebulan ke depan.
Lemang – atau lamang dalam logat Minang – memang adalah tradisi Ramadhan, sekalipun tetap dapat dinikmati sepanjang tahun. Sebulan sebelum Ramadhan biasanya disebut sebagai bulan Malamang – yaitu saatnya membuat lemang secara massal. Biasanya satu kampung membuat lemang bersama-sama, lalu menjelang matang, kaum laki-laki melakukan acara mandoa (berdoa bersama). Sambil berdiri mereka menyeru Allahuakbar berulang-ulang, kepala menggeleng ke kiri dan ke kanan. Banyak yang sampai trance ketika melakukan ini. Setelah itu, mereka menyantap lemang beramai-ramai. Tradisi penyucian ini dilakukan agar umat siap memasuki bulan seribu bulan.
Seperti Anda telah ketahui, orang Minang paling suka menyantap lemang dengan tape dari ketan hitam yang sangat manis. Menjelang Idul Fitri, di mana-mana kita melihat para perantau Minang berjualan lamang jo tapai ini di seluruh pelosok Tanah Air.
Di Tebingtinggi, Sumatra Utara, saya lihat banyak orang berjualan lemang di pasar. Di sana, biasanya lemang dimakan dengan srikaya (dibuat dari telur bebek dan gula pasir, lalu dikukus menjadi adonan kental). Di samping itu, banyak orang makan lemang dengan rendang atau dengan gulai. Hmm, sungguh pengalaman makan yang sangat unik.
Hampir semua penjual lemang di Pasar Tjong A Fie, Tebingtinggi, adalah perantau dari Sumatra Barat. Di gerobaknya selalu ditulis “lemang batok”. Lucunya, tidak seorang pun tahu kenapa disebut lemang batok. Saya menduga bahwa penamaan itu karena lemangnya dibakar dengan arang dari batok (tempurung) kelapa. Smokiness-nya jadi beda dibanding dengan yang dibakar dengan kayu bakar biasa – seperti yang jamak dilakukan di Sumatra Barat.
Nasi Jaha
Tetapi, lemang tidak hanya ada di Sumatra. Di Bumi Minahasa juga ada. Cara memasaknya sama, tetapi ditambahi jahe (= jaha dalam bahasa daerah). Karena ada tambahan jahe inilah maka lemang di Sulawesi Utara sana disebut nasi jaha. Kenapa disebut nasi? Bahannya ‘kan bukan beras, melainkan ketan? Ah, karena saya lupa menanyakannya kepada orang Manado, maka Anda saja yang tanya, ya?
Nasi jaha bisa dimakan sebagai snack. Kalau Anda mampir ke rumah kopi di Manado, pasti ada nasi jaha, lalampa, dan kopi-kopi (semacam kue mangkok), yang bisa dikudap sambil menyeruput kopi. Tetapi, yang lebih umum, nasi jaha diperlakukan sebagai nasi dan dimakan dengan lauk-pauk.
Seperti di Tebingtinggi, orang Sulawesi Utara pun membakar nasi jaha dengan arang dari tempurung kelapa. Orang-orang dari Pulau Sangir, salah satu dari Kepulauan Sangihe Talaud yang terletak di bibir Samudra Pasifik, juga membuat nasi jaha dengan cara pembakaran yang sama. Di Sangir, nasi jaha lebih umum disebut bahundak.
Di Sulawesi Utara, nasi jaha merupakan menu wajib dalam setiap perhelatan yang diadakan. Nasi jaha memang cocok untuk segala macam menu masakan Minahasa. Tetapi, yang wajib dimakan dengan nasi jaha adalah masakan yang disebut pangi. Orang-orang non-Minahasa akan sulit menyukai pangi. Dibuat dari rajangan daun kluwek, lalu dibumbui dan dicampur lemak babi, dan dibakar dalam tabung bambu sampai warnanya mendekati hitam dan lemaknya hancur menjadi minyak. Bagi yang baru merasakannya, citarasanya dan teksturnya aneh. Tetapi, setelah beberapa kali mencobanya, pasti ketagihan.
Nasi jaha atau bahundak juga dapat dimakan dengan ikan bakar, dan colo-colo (sambal yang dibuat dari irisan cabe rawit, garam, dan lemon cui), atau dabu-dabu. Dabu-dabu adalah colo-colo yang ditambahi irisan tomat hijau dan bawang merah.
Di Sangir, katanya ada tradisi untuk menyanyikan berbait-bait pantun ketika membakar tabung-tabung bambu bahundak ini. Berbeda dengan di Sumatra Barat yang biasanya meletakkan tabung-tabung bambu melingkar dan ujungnya menyatu seperti kerucut, di Minahasa dan Sangir tabung bambunya dijejer berdiri agak miring. Jurumasak bahundak yang khusus ditunjuk akan berjalan di sepanjang deretan bambu sambil membalikkan tabung agar terpapar pada panas secara merata. Begitu sampai di ujung deretan tabung bambu, ia berputar kembali untuk melakukan hal yang sama. Uniknya, lagu selalu pas habis satu bait pantun pada ujung deretan tabung bambu, sehingga dimulai lagi dengan bait pantun berikutnya untuk membalikkan tabung-tabung bambu kembali.
Tidak semua orang boleh membelah tabung bambu bahundak yang sudah masak. Anak-anak harus sabar menanti sampai saatnya sang ayah memberinya izin untuk membelah bahundak. Artinya, pada waktu itu ia sudah dianggap dewasa untuk memikul tanggung jawab rumah tangga. Dengan kata lain, bahundak alias lemang adalah sebuah simbol budaya.
Babi tinoransak
Selain nasi jaha dan pangi yang dimasak dalam tabung bambu, di Minahasa banyak sekali makanan yang dimasak di dalam buluh seperti itu. Misalnya, babi tinoransak yang pedis. Biasanya memakai cabe hijau dan cabe rawit yang juga berwarna hijau. Bila babinya diganti ayam, nama makanannya memang ayam tinoransak, tetapi lebih populer dengan sebutan ayam buluh atau ayam masak di buluh.
Babi tinoransak dan ayam buluh dimasak dalam dua versi. Ada yang terus memasaknya sampai kering. Tetapi, saya lebih suka yang masih basah, sehingga masih bergelimang kuah minyak yang pedis dan gurih. Aroma smoky-nya juga membuat kita semakin mabuk kepayang. Khusus untuk ayam buluh, selain dimakan dengan nasi jaha, juga cocok dimakan dengan nasi bungkus – semacam lontong pipih yang dimasak dalam daun nasi.
Kebiasaan memasak di dalam tabung bambu juga bisa dijumpai di Tana Toraja, Sulawesi. Biasanya, yang dimasak adalah potongan daging dan tulang babi. Darah babi juga ikut dimasak setelah dicampur bumbu-bumbu dan dilumurkan pada daging babi. Tabung bambu bagian dalam dilapisi dengan daun pisang sebelum bahan makanan dimasukkan. Cara yang sama dengan pembuatan lemang. Masakan ini populer disebut bapiong.
Di Bali, belum lama ini saya juga ikut dalam sebuah acara adat yang melibatkan megibung (makan bersama secara komunal). Salah satu masakan yang disajikan adalah daging dan tulang kerbau yang dimasak dalam tabung bambu. Artinya, cara memasak di dalam tabung bambu ternyata banyak kita temukan di seantero Nusantara.
Anehnya, kenapa di Jawa dengan kultur kuliner yang juga tinggi tidak ditemukan cara masak dengan tabung bambu? Atau, karena saya belum menemukannya?
* travel.kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar